Seri II : Amburknya Pilar-Pilar Pemerintahan Jokowi “Utang Luar Negeri Dalam Bahaya”

by Redaksi Media Rajawali News
Selain APBN yang gagal mecapai target, sektor keuangan secara keseluruhan pada era pemerintahan Jokowi mengahadapi masalah yang sangat serius. Mengapa? Ini dikarenakan utang pemerintah dan swasta yang semakin besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Lembaga Rating agency Moody's menyatakan meskipun utang pemerintah tergolong moderat namun nilai tukar yang tidak stabil menghadapkan utang pemerintah pada resiko yang besar. Sebanyak 38 persen dari obligasi pemerintah daerah merupakan mata uang asing dan investasi luar negeri. Bahayanya adalah, sejak awal Mei 2016 nilai tukar rupiah terhadap US dolar menunjukkan tanda tanda akan semakin menurun.
Sementara utang swasta menghadapi masalah yang jauh lebih berat. Bahkan Moody's secara khusus memberikan warning terhadap utang swasta. Utang pemerintah berada pada posisi  26.8 PDB dan utang swasta 23.7 percent PDB. Utang swasta telah meningkat 11,3 persen dari tahun 2010, yakni dari 12.4 persen GDP menjadi 23.7 percent GDP dan didominasi oleh mata uang asing.
Menurut catatan BI, utang luar negeri pemerintah hingga kwartal I 2015 sebesar US$ 151,312 miliar. Sedangkan utang luar negeri swasta senilai US$ 164,673 miliar. Secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 315,985 miliar atau sebesar Rp. 4.202 triliun.
Sepanjang pemerintahan Jokowi (kwartal IV 2014 – kwartal Pertama 2016) utang luar negeri pemerintah meningkat US $21,576 miliar, dan swasta meningkat senilai US $22,657 miliar, sehingga secara keseluruhan utang luar negeri meningkat Rp.588,30 triliun. Sementara utang dalam negeri pemerintah dalam bentuk surat utang negera mencapai Rp. 1,327,44 triliun dan mengalami peningkatan senilai Rp.235,09 triliun antara September 2014 – Desember 2015. Pemerintahan Jokowi adalah yang paling berprestasi dalam menciptakan utang.
Utang yang besar akan semakin menambah resiko yang dihadapi Indonesia, baik swasta maupun pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa Perusahaan telekomunikasi Trikomsel gagal bayar terkait obligasi dolar Singapura pada tahun 2015akibat defresiasi rupiah. Demikian pula denganpenambang batubara Berau Coal Energy Tbk gagalbayar, setelah Bumi Resources Tbk sebelumnya juga gagal bayar pada 2014. Besar kemungkinan pemerintah Jokowi akan gagal bayar pada tahun 2016 dikarenakan APBN yang jauh dari target.
Data BI menyebutkan utang luar negeri dan investasi asing dalam surat utang Negara dan swasta telah menyebabkan deficit pendapatan primer yang besar yang mencapai US$ 28,15 miliar sepanjang tahun 2015, yang berarti bahwa uang yang keluar dari ekonomi Indonesia sebesar Rp. 374,41 triliun tanpa ada penggantinya.
Sekarang Pemerintah dan Swasta saling bersaing untuk menyelamatkan diri masing masing. Bahkan pemerintah menetapkan bunga obligasi lebih tinggi dibandingkan dengan bunga deposito perbankkan, dalam rangka mencari uang untuk menambal ABPN. Tindakan pemerintah ini akan mempercepat ambruknya sektor keuangan, khususnya perbankan nasional.
Oleh : Salamuddin Daeng (Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno)

Komentar